Makalah Jual Beli Dalam Islam (Studi Islam)


BAB II
A.     Pengertian.
Secara etimologi, jual beli berarti menukar harta. Sedangkan secara terminogi jual beli memiliki arti penukaran selain dengan fasilitas dan kenikmatan. Selain itu jual beli (Bai’) disebut juga dengan kata Asy Sira’, Al Mubadalah, dan At Tijarah. Ada pun pengertian jual beli secara terminologi yang didefenisikan oleh beberapa ulama :
v  Menurut ulama Hanafiyah, jual beli adalah pertukaran harta atau benda dengan harta berdsarkan cara khusus yang diperbolehkan.
v  Menurui Imam Nawawi, jual beli adalah pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan.
v  Menrut Ibnu Qudamah, jual  beli adalah pertukaran harta dengan harta, untuk saling menjadikan milik.

B.     Macam-macam Jual Beli
Dalam islam ada beberapa jual beli, antara lain :
a) Jual Beli secara Gharar (yang tidak jelas sifatnya)
yang dimaksud dengan Jual Beli  secara Gharar Yaitu bentuk Jual Beli yang didalamnya terkandung  jahalah ( unsur ketidak jelasan) atau terdapat unsur taruhan atau judi.
Imam Nawawi dalm Syarhu Muslimnya menjelaskan “ Adapun larangn Jual Beli secara gharar, merupakan prinsip yang agung dari sekian banyak prinsip yang terkandung dalam  Jual Beli. Contoh Jual Beli Gharar:
·         Jual Beli barang yang tidak ada,
·         Jual Beli barang yang tidak diketahui,
·         Jual Beli barang yang belum menjadi hak milik penuh si penjual, dan
·         Jual Beli janin yang masih ada didalam perut.
b)      Jual Beli secara Mulamasah dan Munabadaz
yang  dimaksud dengan Jual Beli secar Mulamsah ialah seorang maraba pakaian orang denga tanggannya, pada waktu malam atau siang hari, tetapi tanpa membalik-baliknya. sedangkan Jual Beli secara Munabadaz ialah seseorang melemparkan pekaiannya kepada orang lain dan orang lain itupun melemparkan pakainnya kepad orang pelempar pertama yang berarti masing-masing telah membeli dari yang lainnya tanpa diteliti dan tanpa saling merelakan.
c)      Jual Beli Barang secara Habalul Habalah
Dari Ibnu Umar  ra, ia berkata , “  Kaum jahiliyah biasanya melakukan jual beli daging unta yang sedang bunting, kemudian unta yang lhir itu bunting lagi ”  itulah yang disebut dengan Jual Beli  Habalul habalah.
d)      Jual Beli dengan Lemparan Batu kecil
Jual Beli secara lemparan batu-batu kecil, ada tiga penafsiran :
·         Seorang penjual berkata pada si pembeli, ’Saya menjual tanah ini kepadamu, batasnya dari sini sampai tempat jatuhnya batu yang dilemparkan.’
·         Seseorang berkat kepada si pembeli, ‘ Saya jual kepada mu barang ini, dengan catatan engkau mempunyai hak khiyar (pilih) sampai aku melemparkan batu kecil ini.’
·         Pihak penjual dan pembeli menjadikan sesuatu yang dilemparkan dengan batu sebagai barang dagangan, yaitu pembeli berkata kepada si penjual,’ Apabila saya lemparkan pakaian ini dengan batu, maka ia saya beli dengan harga sekian.
e)      Jual Beli Sesuatu yang Belum menjadi Hak Milik
Dari Hakim bin Hizam ra, aku berkata : “Ya Rasulullah, ada seseorang yang akan membeli diriku sesuatu yang tidak ku miliki. Bolehkah saya menjualnya?”  maka jawab Beliau, “ Jangan kamu jual sesuatu yang tidak kamu miliki.”
f)       Jual Beli barang yang Belum di Terima
Rasulullah SAW bersabda, “ Brang siapa membeli makanan, maka janganlah menjualnya hingga ia menakarnya, tidakkah engkau melihat orang-orang membeli bengan emas, sedangkan makanan yang dibeli itu tertangguhkan.”
g)      Jual Beli Atas Pembelian Saudara
Rasulullah SAw bersabda, “ Janganlah sebagian diantar kamu membeli atas pembelian sebagian  yang lain.” dan “ Janganlah seorang muslim menawar atas tawaran sudaranya.”
h)      Jual Beli secara ‘Inah
yang dimaksud dengan Jual Beli secara ‘Inah adalah seseorang menjual sesuatu kepada orangn lain dengan herga bertempo, menjual sesuatu kepada pihak pembeli kemudian penjual membeli kembali barang tadi secara kontan dengan harga yang lebih rendah daripada harga penjual tadi.
i)        Jual Beli Brang secara Taqsith ( kredit atau dengan penambahan harga )
yang dimaksud dengan jual Beli secara Taqsith adalah praktek jual beli bertempo dengan harga yang  lebih mahal daripada harga kontan atau cash.


ü  Asunnah
v  Nabi SAW ditanya tentang mata pencarian yang paling biak. Beliau menjawab, “ seseorang berkerja dengan tanggannya dan setiap jual beli yang mabrur,” [HR. Bazzar, Hakim Mensahahihkannya dari Rifa’ah ibn Rafi’].
èmaksud mabrur dalam hadist diatas adalh jual beli yang terhindar dari  usaha tipu menipu yang merugikan orang lain.
ü  Ijma’ Ulama
Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkn dengan alasan bahwa manusia tidak mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.

D.     Rukun dan Syarat Jual Beli
Menurut ulama Hanafiyah, rukun jual beli adalah ijab  dan  qabul yang menunjukkan pertukaran barang secara ridha dengan ucapan maupun perbuatan. Sedangkan menurut Jumhur Ulama, rukun jual beli ada empat, yaitu :
v  Ba’i  (penjual)
v  Musytari (pembeli)
v  Shighat (ijab dan qabul)
v  Ma’qud alaih (benda atau barang yang diperjual belikan

Syarat  jual beli, dalam akad jual beli , terdapat 4 macam cara , yaitu :
v  Syarat terjadinya akad ( in’iqakad)
 Jika suatu akad jual beli tidak memenuhi syarat ini , akadt tersebt akan menjadi batal
v  Syrat syahnya akad
 Jika suatu akad jual beli tidak memenuhi syarat ini menurut ulama hanafia , akad tersebut menjadi fasih.
v  Syarat terlaksananya akad (nafadz)
Dalam suatu akad jual beli tidak memenuhi syarat ini , akad tersebut mauquf ( ditanguhkan) yang cenderung boleh , bahkan menurut ulama malikiah , cenderung kepada kebolehan.


v  Syarat Luzum
 Jika suatu akd jual beli tidak memenuhi syarat ini ,akad tersebut menjadi mukhayyir (pilih–plih ), artinya ada khiyar (pilihan), baik khiyar untuk menetapkan maupun membatalkan.

Tujuan syarat-syarat diatas secara umum antara lain adalah untuk menghindari pertentangan diantara manusia, menjaga kemashlahatan orang yang sedang akad, menghindari jual beli ghara atau terdapat unsur penipuan dan lain-lain.
Diantara ulama-ulama empat  madzhab fiqh, terdapat perbedan pendapat didalam menetapkan persyaratan jual beli antara lain :

        I.            Menurut ulama Hanafiah
a)      Syarat terjadinya akad (in’iqad)
Adalah syarat yang telah ditetapkan oleh syara’. Jika persyartan ini tidak terpenuhi jual beli menjadi batal. Adapun empat syarat menurut ulama akad :
v  Syarat  aqid (orang yang melakukan akad)
·         Berakal dan humayyiz
Ulama hanafiyah tidak mensyratkan harus baliqh. Tasharruf (membelanjakan harta) yang boleh dilakukan oleh anak mumayyiz dan berakal secara umum dibagi tiga :
§  Tashrruf yang bermanfaat secara murni, seperti haiba
§  Tasharruf yang tidak bermanfaat secara murni, seperti tidak sah talak oleh anak kecil.
§  Tasharruf yang berada diantara kemanfaatan dan kemudharatan, yaitu aktifitas yang dilakukan, tetapi atas ijin wali
·         Aqid harus berbilang ,  sehingga tidaklah sah akad dilakukan seorang diri,  minimal dilakukan dua orang.
v  Syarat dalam akad
Syarat ini hanya satu, yaitu harus sesuai antara ijab dan qabul. Adapun syarat ijab dan qabul ada tiga yaitu : dilakukan oleh ahli aqad, qabul harus sesuai dengan ijab dan qabul walaupun tempatnya tidak bersatu
v  Syarat dalam tempat akad
Harus bersatu antara atau berhubungan antara ijab dan qabul.
v  Syarat Ma’qud ‘Alaih
Ma’qud ‘Alaih haru memenuhi empat  syarat antara lain, yaitu :
§  Ma’qud ‘Alaih harus ada
§  Harta harus kuat, tetap, dan bernilai, yakni benda yang mungkin dimanfaatkan dan disimpan.
§  Benda tersebut milik sendiri
§  Dapat diserahkan
b)      Syarat Pelaksanaan Akad (Nafadz)
·         Benda dimiliki aqid atau berkuasa untuk Akad
·         Pada benda tidak terdapat milik orang lain.
Berdasarkan nafadz dan waqaf (penangguhan), jual beli dibagi dua macam:
v  Jual beli nafidz, yaitu jual beli yang dilakukan oleh orang yang telah memenuhi syarat dan rukun jual beli sehingga jual beli tersebut dikategorikan sah.
v  Jual beli mauquf, yaitu jual beli yang dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi persyaratan nafadz, yakni bukan milik dan tidak kuasa untuk melakukan akad, seperti jual beli fudhul (jual beli milik orang lain tanpa ada izin).
c)      Syarat Sah Akad
Syarat ini terbagi atas dua bagian, yaitu umum dan khusus.
·         Syarat Umum
adalah syarat-syarat yang berhubungan dengan semua bentuk jual beli yang telah ditetapkan syara’. Di antaranya adalah syarat-syarat yang telah disebutkan di atas. Juga harus terhindar kecacatan jual beli, yaitu ketidakjelasan, keterpaksaan, pembatasan dengan waktu (tauqit), penipuan (gharar), kemadaratan, dan persyaratan yang merusak lainnya.
·         Syarat Khusus
adalah syarat-syarat yang hanya ada pada barang-barang tertentu. Jual beli ini harus memenuhi berbagai persyaratan sebagai berikut:
d)      Syarat Luzum (kemestian)
Syarat ini hanya satu, yaitu akad jual beli harus terlepas atau terbebas dari khiyar (pilihan) yang berkaitan dengan kedua pihak akad dan akan menyebabkan batalnya akad.


     II.            Madzhab Maliki
Syarat-syarat yang dikemukakan oleh ulama Malikiyah yang berkenaan dengan aqid (orang melakukan akad), shighat, dan ma’qud a’alaih (barang) berjumlah 11 syarat sebagai berikut:

a)      Syarat Aqid
 adalah penjual atau pembeli. Dalam hal ini terdapat 3 (tiga) syarat bagi aqid ditambah 1 (satu) syarat khusus penjual.
·         Penjual dan pembeli harus mumayyiz.
·         Keduanya merupakan pemilik barang atau yang dijadikan wakil.
·         Keduanya dalam keadaan sukarela.
·         Penjual harus sadar dan dewasa.

Ulama Malikiyah tidak mensyaratkan harus Islam bagi ’aqid kecuali dalam membeli hamba yang muslim dan membeli mushaf. Begitu pula dipandang shahih jual beli yang dilakukan oleh orang yang buta.
b)      Syarat dalam Shighat
·         Tempat akad harus bersatu.
·         Pengucapan ‘ijab dan qabul tidak terpisah.
·         Syarat Harga dan Harga yng Dihargakan
·         Bukan barang yang dilarang syara’.
·         Harus suci, maka tidak boleh menjual khamr, dn lain-lain.
·         Bermanfaat menurut pandangan syara’.
·         Dapat diketahui oleh kedua orang yang akad.
·         Dapat diserahkan.







   III.            Madzhab Syafi’i
Ulama Syafi’iyyah mensyaratkan 22 syarat yang berkaitan dengan ’aqid, shighat, dan ma’qud alaih. Ke-22 syarat tersebut adalah:

a)      Syarat ’aqid
·         Dewasa atau Sadar.
·         Tidak dipaksa atau tanpa hak.
·         Islam.
·         Pembeli bukan musuh
b)      Syarat Shighat
·         Berhadap-hadapan.
·         Ditujukan pada seluruh anggota badan yang akad.
·         Qabul diucapkan oleh orang yang dituju dalam ijab.
·         Harus menyeburkan barang atau harga.
·         Ketika mengucapkan shighat harus disertai niat.
·         Pengucapan ijab dab qabul harus sempurna.
·         Ijab dan qabul tidak terpisah.
·         Antara ijab dan qabul tidak terpisah oleh pernyataan lain.
·         Tidak berubah lafadz
·         Bersesuaian antara ijab dan qabul secara sempurna.
·         Tidak dikaitkan dengan sesuatu
·         Tidak dikaitkan dengan waktu.
c)      Syarat Ma’qud ’Alaih (Barang)
·         Suci.
·         Bermanfaat.
·         Dapat diserahkan.
·         Barang milik sendiri atau menjadi wakil orang lain.
·         Jelas dan dijetahui oleh kedua.

  IV.            Madzhab Hambali
Menurut ulama hanabilah, persyaratan jual beli terdiri atas 11syarat, baik dalam aqid, shighat, dan ma’qud ’alaih.

a)      Syarat Aqid
v  Dewasa
Aqid harus dewasa (baligh dan berakal), kecuali pada jual beli barang-barang yang sepele atau telah mendapat izin dari walinya dan mengandung unsur kemaslahatan.
v  Ada keridaan
Ulama Hanabilah menghukumi makruh bagi orang yang menjual barangnya karena terpaksa atau karena kebutuhan yang mendesak dengan harga di luar harga lazim.
b)      Syarat Shighat
·         Berada di tempat yang sama.
·         Tidak terpisah.
·         Tidak dikaitkan dengan sesuatu.


c)      Syarat Ma’qud ’Alaih
·         Harus berupa harta.
·         Milik penjual secara sempurna.
·         Barang dapat diserahkan ketika akad.
·         Barang diketahui oleh penjual dan pembeli.
·         Harga diketahui oleh kedua pihak yang akad
·         Terhindar dari unsur-unsur yang menjadikan akad tidak sah.

E.      Hukum dan Sifat Jual Beli
Ditinjau dari hukum dan sifat jual beli, jumhur ulama’ membagi jual beli menjadi dua macam, yaitu:
v  Jual beli yang dikategorikan sah (shahih), yaitu jual beli yang emmenuhi ketentuan syara’, baik syarat maupun rukunnya.
v  Jual beli yang dikategorikan tidak sah, yaitu jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukun sehingga jual beli menjadi rusak (fasid) atau batal. Dengan kata lain, menurut jumhur ulama’, rusak atau batal memiliki arti yang sama.
Adapun ulama hanafiyah membagi hukum dan sifat jual beli menjadi jual beli sah, batal, dan rusak.
v  Jual beli shahih adalah jual beli yang memenuhi ketentuan syariat. Hukumnya, sesuatu yang diperjualbelikan menjadi milik yang melakukan akad.
v  Jual beli batal adalah jual beli yang tidak memenuhi salah satu rukun, atau yang tidak sesuai dengan ketentuan syariat, yakni orang yang akad bukan ahlinya, seperti jual beli yang dilakukan oleh orang gila dan anak kecil.
v  Jual beli rusak adalah jual beli yang sesuai dengan ketentuan syariat pada asalnya, tetapi tidak sesuai dengan syariat pada sifatnya, seperti jual beli yang dilakukan oleh orang yang mumayyiz, tetapi bodoh sehingga menimbulkan pertentangan.

F.      Jual Beli yang Dilarang dalam Islam
Berkenaan dengan jual beli yang dilarang dalam, Wahbah Al Zuhaily meringkasnya sebagai berikut:
v  Terlarang Sebab Ahliah (Ahli Akad)
Ulama telah sepakat bahwa jual beli dikategorikan sah apabila dilakukan oleh orang yang baligh, berakal, dapat memilih, dan mampu ber-tasharruf secara bebas dan baik. Mereka yang dipandang tidak sah jual belinya adalah berikut ini:
·         Jual beli orang gila.
·         Jual beli anak kecil.
·         Jual beli orang buta.
·         Jual beli terpaksa.
·         Jual beli fudhul yaitu jual beli tanpa seizin pemiliknya.
·         Jual beli orang yang terhalang.
·         Jual beli malja’ yaitu jual beli orang yang sedang dalam bahaya, yakni untuk menghindar dari perbuatan zalim. Jual beli tersebut menurut ulama Hanafiyah adalah fasid dan menurut ulama Hanabilah adalah batal.



v  Terlarang sebab Shighat
Ulama fiqh telah sepakat atas sahnya jual beli yang didasarkan pada keridaan di antara pihak yang melakukan akad, da kesesuaian di antara ijab dab qabul, berada di satu tempat, dan tidak terpisah oleh suatu pemisah.
Jual beli yang tidak memenuhi ketentuan teresbut dipandang tidak sah. Beberapa jual beli yang dipandang tidak sah atau masih diperdebatkan oleh para ulama adalah sebagai berikut:
·         Jual Beli Mu’athah adalah jual beli yang telah disepakati oleh pihak akad, berkenaan dengan barang maupun harganya, tetapi tidak memakai ijab qabul.
·         Jual beli melalui surat atau melalui utusan
·         Jual beli dengan isyarat atau tulisan
·         Jual beli barang yang tidak ada di tempat akad
·         Jual beli tidak bersesuaian antara ijab dab qabul
·         Jual beli munjiz adalah jual beli yang dikaitkan dengan suatu syarat atau ditangguhkan pada waktu yang akan datang.

v  Terlarang Sebab Ma’qud ’Alaihi (Barang jualan)
Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli dianggap sah apabila ma’qud alaih adalah barang yang tetap atau bermanfaat, berbentuk, dapat diserahkan, dapat dilihat oleh orang-orang yang akad, tidak bersangkutan dengan milik orang lain, dan tidak ada larangan dari syara’. Selain itu, ada beberapa masalah yang disepakati oleh sebagian ulama’, tetapi diperselisihkan oleh ulama lainnya, di antaranya adalah sebagai berikut:
·         Jual beli benda yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada
·         Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan seperti burung yang ada di udara atau ikan yang ada di air.
·         Jual beli gharar.
Jula beli gharar adalah jual beli barang yang mengandung kesamaran. Hal itu dilarang dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda: Janganlah kamu membeli ikan di dalam air karena jual beli seperti itu termasuk gharar (menipu).
·         Jual beli barang yang najis dan yang terkena najis
Ulama sepakat tentang larangan jual beli barang yang najis seperti khamr. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang barang yang terkena najis (al mutanajjis) yang tidak mungkin dihilangkan seperti minyak yang terkena bangkai tikus. Ulama Hanafiyah membolehkannya untuk barang yang tidak untuk dimakan, sedangkan ulama Malikiyah membolehkannya setelah dibersihkan.
·         Jual beli air
Disepakati bahwa jual beli air yang dimiliki, seperti air sumur atau yang disimpan di tempat pemiliknya dibolehkan oleh jumhur ulama madzhab. Sebaliknya ulama Zhahiriyah melarang secara mutlak. Juga disepakati larangan atas jual beli air yang mubah, yaitu yang semua manusia boleh memanfaatkannya.
·         Jual beli barang yang tidak jelas (majhul)
menurut ulama Hanaiyah, jual beli seperti ini adalah fasid, sedangkan menurut jumhur adalah batal sebab akan mendatangkan pertentangan di antara manusia.
·         Jual beli barang yang tidak ada di tempat akad (ghaib), tidak adpat dilihat
Menurut ulama Hanafiyah, jual beli seperti ini dibolehkan tanpa harus menyebutkan sifat-sifatnya, tetapi pembeli berhak khiyar ketika melihatnya. Ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah menyatakan tidak sah, sedangkan ulama Malikiyah membolehkannya bila disebutkan sifat-sifatnya dan mensyaratkan 5 (lima) macam:
§  Harus jauh sekali tempatnya,
§  Tidak boleh dekat sekali tempatnya,
§  Bukan pemiliknya harus ikut memberikan gambaran,
§  Harus meringkas sifat-sifat barang secara menyeluruh,
§  Penjual tidak boleh memberikan syarat.
·         Jual beli sesuatu sebelum dipegang
Ulama Hanafiyah melarang jual beli barang yang dapat dipindahkan sebelum dipegang, tetapi untuk barang yang tetap, dibolehkan. Sebaliknya, Ulama Syafi’iyyah melarangnya secara mutlak. Ulama Malikiyah melarag atas makanan, sedangkan ulama Hanabilah melarang atas makanan yang diukur.
·         Jual beli buah-buahan atau tumbuhan
Apabila belum terdapat buah, disepakati tidak ada akad. Setelah ada buah, tetapi belum matang, akadnya fasid menurut ualama Hanafiyah dan batal menurut jumhur ulama’. Adapun jika buah-buahan atau tumbuhan telah matang, akadnya dibolehkan.

v  Terlarang Sebab Syara’
Ulama sepakat membolehkan jual beli yang memenuhi persyaratan dan rukunnya. Namun demikian, ada bebrapa masalah yang diperselisihkan di antara para ulama’, di antaranya adalah sebagai berikut:
·         Jual beli riba
Riba nasiah dan riba fadhl adalah fasid menurut ulama Hanafiyah, tetapi batal menurut jumhur ulama.
·         Jual beli dengan uang dari barang yang diharamkan
Menurut ulama Hanafiyah termasuk fasid dan terjadi akad atas nilainya,m sedangkan menurut jumhur ulama adalah batal.
·         Jual beli barang dari hasil pencegatan barang
Yakni mencegat pedagang dari perjalanannya menuju tempat yang dituju sehingga orang yang mencegatnya akan mendapatkan keuntungan. Ulama Hanafiyah berpendapat hal itu makruh tahrim. Ulama Syaf’iyyah dan Hanabilah berpendapat, pembeli boleh khiyar. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jual beli seperti itu termasuk fasid.
·         Jual beli waktu adzan Jum’at
Yakni bagi laki-laki yang berkewajiban melaksanakan shalat Jum’at. Menurut ulama Hanafiyah, pada waktu adzan pertama, sedangkan menurut ulama lainnya, adzan ketik akhatib sudah berada di mimbar. Ulama Hanafiyah menghukuminya makruh tahrim, sedangkan ulama Syafi’iyyah menghukumi sahih haram. Pendapat yang masyhur di kalangan ulama Malikiyah adalah tidak jadi, sedangkan menurut ulama Hanabilah, tidak sah.
·         Jual beli anggur untuk dijadikan khamr
Menurut ulama Hanafiyah dan Syafi’iyyah zahirnya sahih, tetapi makruh, sedangkan menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah adalah batal.
·         Jual beli induk tanpa anaknya yang masih kecil
Hal itu dilarang sampai anaknya besar dan dapat mandiri.
·         Jual beli yang sedang dibeli oleh orang lain
·         Jual beli memakai syarat
Menurut ulama Hanafiyah, sah jika syarat tersebut baik, seperti, ”Saya akan membeli baju ini dengan syarat bagian yang rusak dijahit dahulu.” Begitu pula menurut ulama Malikiyah membeolehkannya jika bermanfaat. Menurut ulama Syafi’iyah dibolehkan dengan syarat ada maslahat bagi salah satu pihak yang melangsungkan akad, sedangkan menurut ulama Hanabilah, tidak dibolehkan jika hanya bermanfaat bagi salah satu yang akad.

G.     Macam-macam Jual Beli
Jual beli berdasarkan pertukarannya secara umum dibagi empat macam:
v  Jual beli saham (pesanan), yaitu jual beli dengan acara menyerahkan terlebih dahulu uang muka kemudian barangnya diantar belakangan.
v  Jual beli muqayadhah (barter), yaitu jual beli dengan cara menukar barang dengan barang, seperti menukar baju dengan sepatu.
v  Jual beli muthlaq, yaitu jual beli barang dengan sesuatu yang telah disepakati sebagai alat pertukaran, seperti uang.
v  Jual beli alat penukar dengan alat penukar, yaitu jual beli barang yang biasa dipakai sebagai alat penukar dengan alat penukar lainnya, seperti uang perak dengan uang emas.
Berdasarkan segi harga, jual beli dibagi pyula menjadi empat bagian:
·         Jual beli yang menguntungkan (al murabahah).
·         Jual beli yang tidak menguntungkan, yaitu menjual dengan harga aslinya (at tauliyah).
·         Jual beli rugi (al khasarah)
·       Jual beli al musawah, yaitu penjual menyembunyikan harga aslinya, tetapi kedua orang yang akad saling meridai. Jual beli seperti inilah yang berkembang sekarang.

0 Response to " Makalah Jual Beli Dalam Islam (Studi Islam) "